Model Evaluasi Kesenjangan (Discrepancy Evaluation Model)

Arikunto dan Jabar (2010:40) menyebutkan model evaluasi dapat dibedakan menjadi delapan, yaitu: (a) Goal Oriented Evaluation Model dikembangkan oleh Tyler, (b) Goal Free Evaluation Model dikembangkan oleh Scriven, (c) Formatif Summatif Evaluation Model dikembangkan oleh Michael Scriven, (d) Countenance Evaluation Model dikembangkan oleh Stake, (e) Responsive Evalution Model dikembangkan oleh Stake, (f) CSE-UCLA Evaluation Model menekankan pada “kapan” evaluasi

dilakukan, (g) CIPP Evaluation Model yang dikemb.angkan oleh Stufflebeam, (h) Discrepancy Evaluation Model dikembangkan oleh Provus.

Evaluasi terhadap pelaksanaan Program Indonesia Pintar pada dasarnya membutuhkan jenis model evaluasi yang sesuai. Dilihat dari substansinya bahwa evaluasi ini berupaya untuk melihat kesenjangan yang ada di setiap komponen yang ada. Selain melihat kesenjangannya, dari kelima komponen tersebut, pada akhirnya akan pada akhirnya evaluasi yang dilakukan akan memberikan rekomendasi kepada program. Apabila dilihat dari substansi yang ada, tidak semua model evaluasi

41 cocok digunakan untuk evaluasi program. Berdasarkan pertimbangan tersebut, evaluasi terhadap pelaksanaan Program Indonesia Pintar di Kota Salatiga, tepatnya di SMP Negeri 7 Salatiga, dilakukan dengan menggunakan model evaluasi kesenjangan.

Kata discprepancy adalah istilah Bahasa Inggris yang diterjemahkan ke dalam Bahasa

Indonesia menjadi “kesenjangan” Model ini

dikembangkan oleh Macolm Provus yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di dalam pelaksanaan program. Evaluasi program yang dilakukan oleh evaluator mengukur besarnya kesenjangan yang ada di setiap komponen (Arikunto dan Jabar, 2010:48). Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Sofyan Zaibaski (2017:3) bahwa model discrepancy adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara baku yang sudah ditentukan dalam program dengan kinerja sesungguhnya dari program tersebut. Sedangkan kesenjangan yang dapat dievaluasi dalam program pendidikan meliputi: (1) kesenjangan antara rencana dengan pelaksanaan program, kesenjangan antara yang diduga atau diramalkan akan diperoleh dengan yang benar-benar direalisasikan, (3) kesenjangan antara status

kemampuan dengan standar kemampuan yang ditentukan, (4) kesenjangan tujuan, (5) kesenjangan mengenai bagian program yang dapat diubah, dan (6) kesenjangan dalam sistem yang tidak konsisten. Lebih lanjut Widoyoko (2013:186) discrepancy merupakan model evaluasi yang berangkat dari asumsi bahwa untuk mengetahui kelayakan suatu program, evaluator dapat membandingkan antara apa yang seharusnya dan diharapkan terjadi dengan apa yang sebenarnya terjadi sehingga dapat diketahui ada tidaknya kesenjangan antara standar yang ditetapkan dan kinerja sesungguhnya.

Dari ketiga pendapat di atas Arikunto dan Widoyoko lebih menekankan kepada tujuan evaluator melakukan evaluasi dimana Arikunto mengatakan bahwa evaluasi kesenjangan dilakukan untuk mengukur kesenjangan yang terjadi di setiap komponen, sedang menurut Widoyoko evaluasi kesenjangan merupakan model evaluasi berasumsi untuk mengetahui kelayakan suatu program, evaluator dapat membandingkan antara apa yang seharusnya dan diharapkan terjadi. Sedangkan menurut Fernandes model discrepancy adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara baku yang

43 sudah ditentukan dalam program dengan kinerja sesungguhnya dari program tersebut.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa model Kesenjangan merupakan model evaluasi yang digunakan untuk mengukur kesenjangan program yang terjadi antara yang direncanakan dan yang dilaksanakan untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi pada setiap komponen guna mengambil keputusan tentang keberlanjutan program. Berkaitan dengan evaluasi pelaksanaan Program Indonesia Pintar, penelitian ini berupaya mengumpulkan dan mengetahui kesenjangan yang ada melalui keterlaksanaan program.

Widoyoko (2013:186) menyatakan bahwa model Evaluasi kesenjangan bertujuan untuk menganalisis suatu program sehingga dapat ditentukan apakah suatu program layak diteruskan, ditingkatkan atau sebaiknya dihentikan mementingkan terdefinisikannya standart, performance dan discrepancy secara rinci dan teratur. Evaluasi program yang dilakukan oleh evaluator mengukur kesenjangan yang ada di setiap komponen-komponen program. Komponen dalam model evaluasi Kesenjangan dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)

Tahap desain, staff mengorganisir a) gambaran tujuan, proses, atau aktivitas dan menggambarkan sumber daya yang dibutuhkan; (2) tahap instalasi, definisi program menjadi standar baku untuk diperbandingkan dengan penilaian operasi awal program. Gagasannya adalah untuk menentukan sama dan sebangun, sudah atau belumnya program telah diterapkan sebagaimana desainnya; (3) tahap proses, evaluasi ditandai dengan pengumpulan data untuk menjaga keterlaksanaan program. Gagasannya adalah untuk memperhatikan dampak awal, pengaruh dan efek; (4) tahap produk, pengumpulan data dan analisa yang membantu ke arah penentuan tingkat capaian sasaran dari outcome; (5) tahap cost-benefit, menunjukkan peluang untuk membandingkan hasil dengan yang dicapai oleh pendekatan lain yang serupa.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kegiatan evaluasi dengan model kesenjangan harus menganalisis program berdasarkan komponen-komponennya. Model evaluasi kesenjangan sengaja dipilih karena komponen-komponen dalam pelaksanaan program Indonesia Pintar dapat dianalisis menggunakan model ini. Pengaturan komponen dalam kesenjangan

45 menjadi kunci terhadap keberadaan tindak lanjut Program Indonesia Pintar di SMP Negeri 7 Salatiga.

Lebih lanjut Joan L. Buttram (2017) menyatakan bahwa model Kesenjangan dalam pelaksanaannya dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut:

(1)Desain program berfokus menilai rancangan program dengan menentukan input, proses dan output yang diperlukan, dan sumber daya yang diperlukan dalam pelaksanaan program yang di dalamnya akan mendesain produk apa yang akan dihasilkan dari apa yang telah ditentukan; (2) Instalasi berfokus untuk menyelidiki apakah program telah terinstalisasi sesuai rencana; (3) Proses berfokus untuk memantau program yang sedang berjalan dan mengumpulkan data tentang kemajuan program, kemudian menentukan apakah perilakunya berubah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Jika tidak; maka perlu dilakukan perubahan terhadap aktivitas-aktivitas yang terlibat; (4) Produk berfokus menganalisis data dan menetapkan tingkat output yang diperoleh. Penilaian dilakukan untuk menentukan apakah tujuan akhir program tercapai atau tidak; (5) Biaya-Manfaat fokus membandingkan hasil-hasil yang diperoleh dengan tujuan yang ditetapkan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kegiatan evaluasi pelaksanaan dengan model Kesenjangan harus menganalisis program berdasarkan komponen-komponennya.

Model evaluasi kesenjangan memiliki keunggulan, yaitu: 1) dapat membuat pertimbangan atas kekurangan dan kelebihan suatu program berdasarkan standar yang telah ditetapkan, 2) model ini dapat menggunakan pendekatan formatif dan berorientasi pada analisis sistem, 3) model ini merupakan prosedur dari problem solving, 4) dapat melakukan perbandingan pada capaian program, pada waktu yang sama mengindentifikasi standar yang akan digunakan selanjutnya.

Sejalan dengan pendapat di atas, John Boulmetis (2017:84) menjelaskan bahwa model evaluasi kesenjangan dapat digunakan dalam melihat kesenjangan pada program secara menyeluruh. Model ini bukan untuk membuktikan sebab-akibat, namun untuk melihat kesesuaian antara yang diharapkan dengan yang terjadi. Kesesuaian program dapat dilihat melalui beberapa tahap antara lain:

(1)Desain menganalisis kebutuhan dan merencanakan bagaimana program dirancang, kemudian dibandingkan dengan standar program; (2) Instalasi membandingkan standar program dengan yang akan dilaksanakan, dalam tahap ini evaluator akan membandingkan kesesuaian program yang sedang berjalan; (3) Proses membadingkan perencanaan dengan apa yang sedang dicapai;

47 (4) Produk melihat hasil akhir yang telah dicapai; (5) Analisis manfaat-biaya, membandingkan manfaat yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan (John Boulmetis, 2017:86)

Apabila dirinci, substansi dari komponen model kesenjangan dalam pelaksanaan Program Indonesia Pintar di SMP Negeri 7 Salatiga sebagai berikut: (1) Evaluasi desain, sasaran evaluasi desain meliputi: a) tujuan program, b) proses atau aktivitas program, c) sumber daya manusia yang diperlukan, dan d) sarana dan prasarana yang diperlukan; (2) Evaluasi instalasi, sasaran evaluasi instalasi meliputi: a) perencanaan program, b) sumber daya manusia yang diharapkan, c) sarana dan prasarana yang diperlukan; (3) Evaluasi proses, sasaran evaluasi proses meliputi: a) pelaksanaan program, b) sumber daya manusia, c) sarana dan prasarana, d) faktor-faktor pendukung dan penghambat, e) pelaksanaan evaluasi; (4) Evaluasi produk, sasaran evaluasi produk meliputi: a) ketercapaian program, c) dampak program, d) rencana pengembangan program. (5) Evaluasi manfaat dan biaya, sasaran evaluasi meliputi: a) membandingkan manfaat bagi guru, kepala sekolah dan siswa, b) manfaat yang diperoleh dengan dana yang dikeluarkan.